SALAM
SOBAT BLOGGER ......,
Kali ini adi-lase.blogspot.com akan coba share buat teman-teman blogger mengenai UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN.
Silahkan Dibaca :
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN.
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa
pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil
maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa dalam
pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan
dan kedudukan
yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
c. bahwa sesuai
dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan
ketenagakerjaan
untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam
pembangunan
serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai
dengan harkat
dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa
perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak
dasar
pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi
atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya
dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
e. bahwa
beberapa undang undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak
sesuai lagi
dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena
itu perlu
dicabut dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e
perlu membentuk Undang
undang tentang Ketenagakerjaan;
Mengingat :
Pasal 5 ayat
(1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1)
Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan
persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG
TENTANG KETENAGAKERJAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada
waktu
sebelum, selama,
dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk
masyarakat.
3. Pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk
lain.
4. Pemberi kerja
adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
5. Pengusaha
adalah :
a. orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik
sendiri;
b. orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan
perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di
luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan
adalah :
a. setiap bentuk
usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk
lain;
b. usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan
orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
7. Perencanaan
tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara
sistematis yang
dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan
pelaksanaan
program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi
ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang
berbentuk angka
yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai
dan makna
tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan
kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan,
serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap,
dan etos kerja
pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang
dan kualifikasi
jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi
kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan,
keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
11. Pemagangan
adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara
terpadu antara
pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di
bawah bimbingan
dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih
berpengalaman,
dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam
rangka menguasai
keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan
penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga
kerja dengan
pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang
sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh
tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja
asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja
di wilayah
Indonesia.
14. Perjanjian
kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja
yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
15. Hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian
kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
16. Hubungan
industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam proses
produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh,
dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang
Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat
pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh
baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
18. Lembaga
kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai halhal
yang berkaitan
dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya
terdiri dari
pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi
yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga
kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah
tentang masalah
ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi
pengusaha,
serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan
perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha
yang memuat
syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian
kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara
serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha,
atau beberapa
pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat
kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan
hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar
serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja
adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan
secara
bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan
atau memperlambat
pekerjaan.
24. Penutupan
perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh
seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan
hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
26. Anak adalah
setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari
adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu)
hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu
adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah
hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan
dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang
undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
31.
Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan
yang bersifat
jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja,
yang secara
langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja
dalam lingkungan
kerja yang aman dan sehat.
32. Pengawasan
ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan
peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri
adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
BAB II
LANDASAN, ASAS,
DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan
ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan
ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui
koordinasi
fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan
ketenagakerjaan bertujuan :
a. memberdayakan
dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan
pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
BAB III
KESEMPATAN DAN
PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga
kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh
pekerjaan.
Pasal 6
Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha.
BAB IV
PERENCANAAN
TENAGA KERJA DAN
INFORMASI
KETENAGAKERJAAN
Pasal 7
(1) Dalam rangka
pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan
menyusun
perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan
tenaga kerja meliputi :
a. perencanaan
tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan
tenaga kerja mikro.
(3) Dalam
penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan
yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan
tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
(1) Perencanaan
tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara
lain meliputi :
a. penduduk dan
tenaga kerja;
b. kesempatan
kerja;
c. pelatihan
kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas
tenaga kerja;
e. hubungan
industrial;
f. kondisi
lingkungan kerja;
g. pengupahan
dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial
tenaga kerja.
(2) Informasi
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari
semua pihak yang
terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan
mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan
serta
pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan kerja
diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan
kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan.
Pasal 10
(1) Pelatihan
kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia
usaha, baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan
kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada
standar
kompetensi kerja.
(3) Pelatihan
kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan
mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Setiap tenaga
kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan
kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
melalui
pelatihan kerja.
Pasal 12
(1) Pengusaha
bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi
pekerjanya
melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan
dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diwajibkan
bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan
Keputusan
Menteri.
(3) Setiap
pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja
sesuai dengan
bi-dang tugasnya.
Pasal 13
(1) Pelatihan
kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau
lembaga
pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan
kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga
pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
menyelenggarakan
pe-latihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
Pasal 14
(1) Lembaga
pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau
perorangan.
(2) Lembaga
pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memperoleh izin
atau men daftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan
di kabupaten/kota.
(3) Lembaga
pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan
kegiatannya
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
(4) Ketentuan
mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
Penyelenggara
pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya
tenaga kepelatihan;
b. adanya
kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya
sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya
dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.
Pasal 16
(1) Lembaga
pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan
kerja pemerintah
yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga
akreditasi.
(2) Lembaga
akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri
atas unsur masya
rakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi
dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 17
(1) Instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat
menghentikan
seme ntara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam
pelaksanaannya ternyata
:
a. tidak sesuai
dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
dan/atau
b. tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian
sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama
6 (enam) bulan.
(3) Penghentian
sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan
terhadap program
pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9
dan Pasal 15.
(4) Bagi
penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan
melengkapi saran
per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi
penghentian
program pelatihan.
(5)
Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program
pelatihan kerja
yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan
sanksi
pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan.
(6) Ketentuan
mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin,
dan pembatalan
pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 18
(1) Tenaga kerja
berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja
yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga
pelatihan kerja
swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan
kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
sertifikasi
kompe tensi kerja.
(3) Sertifikasi
kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti
oleh tenaga
kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk
melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi
profesi yang
inde penden.
(5) Pembentukan
badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pelatihan kerja
bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan
jenis, derajat
kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang
bersangkutan.
Pasal 20
(1) Untuk
mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan
ketenagakerjaan,
dikembang kan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan
acuan
pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
(2) Ketentuan
mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja
nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pelatihan kerja
dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.
Pasal 22
(1) Pemagangan
dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan
pengusaha yang
di buat secara tertulis.
(2) Perjanjian
pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya
memuat ketentuan
hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu
pemagangan.
(3) Pemagangan
yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi
pekerja/buruh
perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 23
Tenaga kerja
yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan
kualifikasi
kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
Pasal 24
Pemagangan dapat
dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan
pelatihan kerja,
atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.
Pasal 25
(1) Pemagangan
yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari
Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk
memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara
pemagangan harus
ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Ketentuan
mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 26
(1)
Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :
a. harkat dan
martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan
kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan
dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan
ibadahnya.
(2) Menteri atau
pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di
luar wilayah
Indo nesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 27
(1) Menteri
dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan
program pemagangan.
(2) Dalam
menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus
memperhatikan ke
pentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.
Pasal 28
(1) Untuk
memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta
melakukan
koordinasi pela tihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi
pelatihan kerja
nasional.
(2) Pembentukan,
keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud
da lam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 29
(1) Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja
dan pemagangan.
(2) Pembinaan
pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi,
kualitas, dan
efisien si penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.
(3) Peningkatan
produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan
buda ya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan
ekonomi, menuju
terwujudnya produktivitas nasional.
Pasal 30
(1) Untuk
meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dibentuk lembaga
pro duktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga
produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring
kelembagaan
pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun
daerah.
(3) Pembentukan,
keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB VI
PENEMPATAN
TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga
kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan,
atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam
atau di luar
negeri.
Pasal 32
(1) Penempatan
tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif,
serta adil, dan
setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan
tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan
yang tepat
sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan
dengan memperhatikan
harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan
tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja
dan penye diaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program
nasional dan
daerah.
Pasal 33
Penempatan
tenaga kerja terdiri dari :
a. penempatan
tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan
tenaga kerja di luar negeri.
Pasal 34
Ketentuan
mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33
huruf b diatur dengan undang-undang.
Pasal 35
(1) Pemberi
kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja
yang dibutuhkan
atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana
penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memberikan
perlindu ngan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja
(3) Pemberi
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga
kerja wajib
memberi kan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan,
dan kesehatan
baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Pasal 36
(1) Penempatan
tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(1) dilakukan
dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan
penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat
terpadu dalam
satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur :
a. pencari
kerja;
b. lowongan
pekerjaan;
c. informasi
pasar kerja;
d. mekanisme
antar kerja; dan
e. kelembagaan
penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur
sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dapat
dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan
tenaga kerja.
Pasal 37
(1) Pelaksana
penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
terdiri dari :
a. instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan
b. lembaga
swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga
penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b dalam
melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin
tertulis dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
(1) Pelaksana
penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf a,
dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung,
sebagian atau
keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.
(2) Lembaga
penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) huruf b,
hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna
tenaga kerja dan
dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
(3) Golongan dan
jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan
Menteri.
BAB VII
PERLUASAN
KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
(1) Pemerintah
bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di
luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah
dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja
baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua
kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan
untuk mewujudkan
per luasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja.
(4) Lembaga
keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu
membantu dan mem
berikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat
menciptakan atau
mengembangkan perluasan kesempatan kerja.
Pasal 40
(1) Perluasan
kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan
kegiatan yang
produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber
daya alam,
sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan
perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan
pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan
sistem padat
karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja
sukarela atau
pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.
Pasal 41
(1) Pemerintah
menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja.
(2) Pemerintah
dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk
badan koordinasi
yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan
mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur
dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
PENGGUNAAN
TENAGA KERJA ASING
Pasal 42
(1) Setiap
pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin
tertulis dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi
kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi
perwakilan
negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai
diplomatik dan
konsuler.
(4) Tenaga kerja
asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja
untuk jabatan
tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan
mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja
asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis
dan tidak dapat
di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.
Pasal 43
(1) Pemberi
kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan
tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Rencana
penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya
memuat keterangan :
a. alasan
penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan
dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi
perusahaan yang
bersangkutan;
c. jangka waktu
penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan
tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja
asing yang
dipekerjakan.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi
pemerintah,
badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan
mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing
diatur dengan
Keputu san Menteri.
Pasal 44
(1) Pemberi
kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan
standar
kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan
mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 45
(1) Pemberi
kerja tenaga kerja asing wajib :
a. menunjuk
tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga
kerja asing yang
dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga
kerja asing; dan
b. melaksanakan
pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia
sebagaimana
dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh
tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing
yang menduduki
ja batan direksi dan/atau komisaris.
Pasal 46
(1) Tenaga kerja
asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau
jabatan-jabatan
tertentu.
(2)
Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan
Menteri
Pasal 47
(1) Pemberi
kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
(2) Kewajiban
membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi
instansi pe merintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional,
lembaga sosial,
lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga
pendidikan.
(3) Ketentuan
mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan
mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan
Peraturan
Pemerintah.
Pasal 48
Pemberi kerja
yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja
asing ke negara
asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
Pasal 49
Ketentuan
mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan tenaga
kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
Pasal 51
(1) Perjanjian
kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian
kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
peraturan
perundang undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1) Perjanjian
kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan
kedua belah pihak;
b. kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya
pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian
kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian
kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Pasal 53
Segala hal
dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan
oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Pasal 54
(1) Perjanjian
kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a. nama, alamat
perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis
kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau
jenis pekerjaan;
d. tempat
pekerjaan;
e. besarnya upah
dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan
jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan
tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam
perjanjian
kerja.
(2) Ketentuan
dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f,
tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan
peraturan
perundang undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya
rangkap 2 (dua),
yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh
dan pengusaha
masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Pasal 55
Perjanjian kerja
tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para
pihak.
Pasal 56
(1) Perjanjian
kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas
:
a. jangka waktu;
atau
b. selesainya
suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan
bahasa Indonesia
dan huruf latin.
(2) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan
ketentuan
sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja
untuk waktu
tidak tertentu.
(3) Dalam hal
perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila
kemudian
terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku
perjanjian kerja
yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
(1) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2) Dalam hal
disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
Pasal 59
(1) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu
:
a. pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama
3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan
yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian
kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk
paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali
untuk jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha
yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut,
paling lama 7
(tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah
memberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu
yang lama,
pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1
(satu) kali dan
paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum
menjadi
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain
yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan
Menteri.
Pasal 60
(1) Perjanjian
kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja
paling lama 3
(tiga) bulan.
(2) Dalam masa
percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
dilarang
membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal 61
(1) Perjanjian
kerja berakhir apabila :
a. pekerja
meninggal dunia;
b. berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya
putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
atau
d. adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya
hubungan kerja.
(2) Perjanjian
kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak
atas perusahaan
yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal
terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi
tanggung jawab
pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan
yang tidak
mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal
pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha
dapat mengakhiri
per-janjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal
pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak
mendapatkan hak
haknya se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau hak hak
yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja
bersama.
Pasal 62
Apabila salah
satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja
bukan karena
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang
mengakhiri
hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar
upah
pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Pasal 63
(1) Dalam hal
perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha
wajib membuat
surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Surat
pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya
memuat
keterangan :
a. nama dan
alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai
bekerja;
c. jenis
pekerjaan; dan
d. besarnya
upah.
Pasal 64
Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat
secara tertulis.
Pasal 65
(1) Penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan
melalui
perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis
(2) Pekerjaan
yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan
secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan
penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak
menghambat proses produksi secara langsung.
(2) Perusahaan
lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(3) Perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain
sebagaimana
dimak-sud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau
sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Perubahan
dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
(5) Hubungan
kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dalam
perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh
yang
dipekerjakannya.
(6) Hubungan
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas
perjanjian kerja
waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila
memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(7) Dalam hal
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak
terpenuhi, maka
demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
penerima
pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan
perusahaan
pemberi pekerjaan.
(8) Dalam hal
hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi
pekerjaan sesuai
dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
Pasal 66
(1) Pekerja/buruh
dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi
kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan
langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang
atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia
jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan
langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a. adanya
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b. perjanjian
kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada
huruf a adalah
perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu yang
dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan
upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang
timbul menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian
antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain
yang bertindak
sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara
tertulis dan
wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undangundang
ini.
(3) Penyedia
jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan
memiliki izin
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b,
dan huruf d serta
ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi
hubungan kerja
antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
BAB X
PERLINDUNGAN,
PENGUPAHAN, DAN
KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Paragraf 1
Penyandang Cacat
Pasal 67
(1) Pengusaha
yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan
perlindungan
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian
perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 2
Anak
Pasal 68
Pengusaha
dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69
(1) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang
berumur antara
13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan
pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik,
mental, dan sosial.
(2) Pengusaha
yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud
dalam ayat (1)
harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis
dari orang tua atau wali;
b. perjanjian
kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja
maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan
pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan
dan kesehatan kerja;
f. adanya
hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi
anak yang
bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 70
(1) Anak dapat
melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari
kurikulum
pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun.
(3) Pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
a. diberi
petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan
pengawasan dalam
melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71
(1) Anak dapat
melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha
yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memenuhi syarat
:
a. di bawah
pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja
paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan
lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental,
sosial, dan
waktu sekolah.
(3) Ketentuan
mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72
Dalam hal anak
dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat
kerja anak harus
dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73
Anak dianggap
bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.
Pasal 74
(1) Siapapun
dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk.
(2)
Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. segala
pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala
pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk
pelacuran,
produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala
pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk
produksi dan
perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya;
dan/atau
d. semua
pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
(3) Jenis-jenis
pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak
sebagaimana
di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 75
(1) Pemerintah
berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar
hubungan kerja.
(2) Upaya penanggulangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 3
Perempuan
Pasal 76
(1)
Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
dilarang
dipekerjakan
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(2) Pengusaha
dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut
keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun
dirinya apabila
bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul
07.00 wajib :
a. memberikan
makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga
kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha
wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan
yang berangkat
dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Keputusan
Menteri.
Paragraf 4
Waktu Kerja
Pasal 77
(1) Setiap
pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam
1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan)
jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan
waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi
sektor usaha
atau peker-jaan tertentu.
(4) Ketentuan
mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78
(1) Pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a. ada
persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja
lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1
(satu) hari dan
14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan
waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak
berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan
mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 79
(1) Pengusaha
wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu
istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. istirahat
antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama
4 (empat) jam
terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat
mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
atau 2 (dua)
hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan,
sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh
yang
bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat
panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun
ketujuh dan
kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah
bekerja selama 6
(enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama
dengan ketentuan
pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat
tahunannya dalam
2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap
kelipatan masa
kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan
waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c
diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak
istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku
bagi
pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 80
Pengusaha wajib
memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk
melaksanakan
ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal 81
(1)
Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan
kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua
pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82
(1)
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum
saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan
menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2)
Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh
istirahat 1,5
(satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan atau
bidan.
Pasal 83
Pekerja/buruh
perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk
menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84
Setiap
pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79
ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah
penuh.
Pasal 85
(1) Pekerja/buruh
tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha
dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur
resmi apabila
jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan
secara terus
menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara
pekerja/buruh
dengan pengusaha.
(3) Pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari
libur resmi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.
(4) Ketentuan
mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan
Keputusan Menteri.
Paragraf 5
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
Pasal 86
(1) Setiap
pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. keselamatan
dan kesehatan kerja;
b. moral dan
kesusilaan; dan
c. perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk
melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja
yang optimal
diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap
perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja yang
terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan
mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengupahan.
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi
kemanusiaan.
(2) Untuk
mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan
yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan
pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2)
meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja
lembur;
c. upah tidak
masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak
masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena
menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan
cara pembayaran upah;
g. denda dan
potongan upah;
h. hal-hal yang
dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan
skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk
pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk
perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah
menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a
berdasarkan
kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan
pertumbuhan
ekonomi.
Pasal 89
(1) Upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri
atas:
a. upah minimum
berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum
berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
(2) Upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian
kebutuhan hidup
layak.
(3) Upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur
dengan
memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
(4) Komponen
serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90
(1) Pengusaha
dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 89.
(2) Bagi
pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89
dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara
penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Keputusan
Menteri.
Pasal 91
(1) Pengaturan
pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan
pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau
bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi
hukum, dan
pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 92
(1) Pengusaha
menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan,
jabatan, masa
kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha
melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan
kemampuan
perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan
mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 93
(1) Upah tidak
dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib
membayar upah
apabila :
a. pekerja/buruh
sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh
perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya
sehingga tidak
dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh
tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,
mengkhitankan,
membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran
kandungan, suami
atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua
atau anggota
keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh
tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan
kewajiban
terhadap negara;
e. pekerja/buruh
tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah
yang
diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh
bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun
halangan yang
seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh
melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh
melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan
pengusaha; dan
i. pekerja/buruh
melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3) Upah yang
dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf a
sebagai berikut :
a. untuk 4
(empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4
(empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4
(empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan
selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah
sebelum
pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang
dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2) huruf c sebagai berikut :
a. pekerja/buruh
menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan
anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan
anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d. membaptiskan
anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri
melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami/isteri,
orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar
untuk selama 2
(dua) hari; dan
g. anggota
keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1
(satu) hari.
(5) Pengaturan
pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 94
Dalam hal
komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya
upah pokok
sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok
dan tunjangan
tetap.
Pasal 95
(1) Pelanggaran
yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya
dapat dikenakan
denda.
(2) Pengusaha
yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan
pembayaran upah,
dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah
pekerja/buruh.
(3) Pemerintah
mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh,
dalam pembayaran
upah.
(4) Dalam hal perusahaan
dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh
merupakan utang
yang didahulukan pem-bayarannya.
Pasal 96
Tuntutan
pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja
menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak.
Pasal 97
Ketentuan
mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup
layak, dan
perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan
upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan
Pemerintah.
Pasal 98
(1) Untuk
memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan
yang akan
ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan
nasional
dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan
Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari
unsur
pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/-serikat buruh, perguruan
tinggi, dan
pakar.
(3) Keanggotaan
Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden,
sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota
diangkat dan
diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota
(4) Ketentuan
mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara
pengangkatan dan
pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan
Pengupahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan
Keputusan
Presiden.
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 99
(1) Setiap
pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja.
(2) Jaminan
sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 100
(1) Untuk
meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha
wajib
menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan
fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan
dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran
kemampuan
perusahaan.
(3) Ketentuan
mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan
pekerja/buruh
dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat
(2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(1) Untuk
meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh
dan usaha-usaha
produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah,
pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya
menumbuhkembangkan
koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pembentukan
koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya
untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
(1) Dalam
melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan
kebijakan,
memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan
penindakan
terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan
hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruhnya
mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya,
menjaga
ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara
demokratis,
mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan
perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
(3) Dalam
melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya
mempunyai fungsi
menciptakan kemitraan, mengembang-kan usaha, memperluas
lapangan kerja,
dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka,
demokratis, dan
berkeadilan.
Pasal 103
Hubungan
Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat
pekerja/serikat buruh;
b. organisasi
pengusaha;
c. lembaga kerja
sama bipartit;
d. embaga kerja
sama tripartit;
e. peraturan
perusahaan;
f. perjanjian
kerja bersama;
g. peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Bagian Kedua
Serikat
Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
(1) Setiap
pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(2) Dalam
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat
pekerja/serikat
buruh ber-hak menghimpun dan mengelola keuangan serta
mempertanggungjawabkan
keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan
tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur dalam
ang-garan dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat
pekerja/serikat
buruh yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Organisasi
Pengusaha
Pasal 105
(1) Setiap
pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan
mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
Bagian Keempat
Lembaga Kerja
Sama Bipartit
Pasal 106
(1) Setiap
perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau
lebih wajib
membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga
kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai
forum
komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan
keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) terdiri dari
unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh
pekerja/buruh
secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di
perusahaan yang
bersangkutan.
(4) Ketentuan
mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja
sama bipartit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Kelima
Lembaga Kerja
Sama Tripartit
Pasal 107
(1) Lembaga
kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada
pemerintah dan
pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah
ketenagakerjaan.
(2) Lembaga
Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :
a. Lembaga Kerja
sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan
b. Lembaga Kerja
sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan
Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi
pengusaha, dan
seri-kat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja
dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Peraturan
Perusahaan
Pasal 108
(1) Pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang wajib
membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh
Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
(2) Kewajiban
membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak berlaku
bagi peru-sahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
Pasal 109
Peraturan
perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.
Pasal 110
(1) Peraturan
perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari
wakil
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di
perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh maka wakil
pe-kerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pengurus serikat
pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di
perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh, wakil
pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pekerja/buruh
yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para
pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 111
(1) Peraturan
perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
a. hak dan
kewajiban pengusaha;
b. hak dan
kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib
perusahaan; dan
e. jangka waktu
berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan
dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
peraturan
perundang undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku
peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui
setelah habis
masa berlakunya.
(4) Selama masa
berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh
di perusahaan
meng hendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka
pengusaha wajib
melayani.
(5) Dalam hal
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4)
tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku
sampai habis
jangka waktu berlakunya.
Pasal 112
(1) Pengesahan
peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu
paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila
peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111
ayat (1) dan
ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan
oleh Menteri
atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah
mendapatkan
pengesahan.
(3) Dalam hal
peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 111
ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus
memberitahukan
secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan
perusahaan.
(4) Dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
diterima oleh
pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib
menyampaikan
kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri
atau pejabat
yang ditunjuk.
Pasal 113
(1) Perubahan
peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya
dapat dilakukan
atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan
perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
mendapat
pengesa-han dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 114
Pengusaha wajib
memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah
peraturan
perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pasal 115
Ketentuan
mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur
dengan Keputusan
Menteri.
Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja
Bersama
Pasal 116
(1) Perjanjian
kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat
buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan
perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan
secara musya-warah.
(3) Perjanjian
kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara
tertulis dengan
huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal
terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa
Indonesia, maka
per-janjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia oleh
penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah
memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 117
Dalam hal
musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan
industrial.
Pasal 118
Dalam 1 (satu)
perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang
berlaku bagi
seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 119
(1) Dalam hal di
satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikat
pekerja/seri-kat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan
pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki
jumlah anggota
lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di
satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari
50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka
serikat
pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan
pengusaha
apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat
dukungan lebih
50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan
melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal
dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka
serikat pekerja/serikat
buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali
permintaan untuk
merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah
melampaui jangka
waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan
suara dengan
mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 120
(1) Dalam hal di
satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh
maka yang berhak
mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha
yang jumlah
keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh
jumlah
pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka
serikat
pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih
dari 50% (lima
puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan
tersebut untuk
mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka
para seri-kat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang
keanggotaannya
ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masingmasing
serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 121
Keanggotaan
serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan
Pasal 120
dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 122
Pemungutan suara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang
terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat
buruh yang
disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan
dan pengusaha.
Pasal 123
(1) Masa
berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian
kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang
masa berlakunya
pa-ling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara
pengusaha dengan
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan
pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling
cepat 3 (tiga)
bulan se-belum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang
berlaku.
(4) Dalam hal
perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai
kesepakatan maka
perjan-jian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk
paling lama 1
(satu) tahun.
Pasal 124
(1) Perjanjian
kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan
kewajiban pengusaha;
b. hak dan
kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu
dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan
para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
e. Ketentuan
dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal
isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang
bertentangan
tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
peraturan
perundang-undangan.
Pasal 125
Dalam hal kedua
belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama,
maka perubahan
tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja
bersama yang
sedang berlaku.
Pasal 126
(1) Pengusaha,
serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan
ketentuan yang
ada da-lam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha
dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja
bersama atau
peru-bahannya kepada seluruh pekerja/ buruh.
(3) Pengusaha
harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada
setiap pekerja/
buruh atas biaya perusahaan.
Pasal 127
(1) Perjanjian
kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh
bertentangan
dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal
ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bertentangan
dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja
tersebut batal
demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja
bersama.
Pasal 128
Dalam hal
perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka
yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
(1) Pengusaha
dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan,
selama di
perusa-haan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di
perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian
kerja bersama
diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam
peraturan
perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam
perjanjian kerja
bersama.
Pasal 130
(1) Dalam hal
perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang
atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu)
serikat
pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan
perjanjian kerja
bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal
perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang
atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/serikat
buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding
tidak lagi
memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan
perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh
yang anggotanya
lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh
di perusahaan
bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat
perjanjian kerja
bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara
proporsional.
(3) Dalam hal
perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang
atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/
serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada
memenuhi
ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan
perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat
(2) dan ayat
(3).
Pasal 131
(1) Dalam hal
terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan
kepemilikan perusahaan
maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai
berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal
terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan
mempunyai
perjan-jian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku
adalah
perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
(3) Dalam hal
terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang
mempunyai
perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai
perjanjian kerja
bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi
perusahaan yang
bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja
bersama.
Pasal 132
(1) Perjanjian
kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan
lain dalam
perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian
kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian
kerja bersama
selan-jutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang
bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 133
Ketentuan
mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran
perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 134
Dalam mewujudkan
pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha,
pemerintah wajib
melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundangundangan
ketenagakerjaan.
Pasal 135
Pelaksanaan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan
hubungan
industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah.
Bagian Kedelapan
Lembaga
Penyelesaian Perselisihan
Hubungan
Industrial
Paragraf 1
Perselisihan
Hubungan Industrial
Pasal 136
(1) Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan
pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal
penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat
pekerja/serikat
buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui
prosedur
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undangundang.
Paragraf 2
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok kerja
sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah,
tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 138
(1)
Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak
pekerja/buruh
lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan
dengan tidak
melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh
yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
memenuhi atau
tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan
mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang
melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya
membahayakan
keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu
kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140
(1)
Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja
dilaksanakan,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan
secara tertulis
kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan
setempat.
(2)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari,
tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok
kerja;
c. alasan dan
sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan
ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris
serikat
pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal
mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat
pekerja/ serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2)
ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai
koordinator
dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal
mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
demi menyelamat
kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil
tindakan
sementara dengan cara :
a. melarang para
pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses
produksi; atau
b. bila dianggap
perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi
perusahaan.
Pasal 141
(1) Instansi
pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok
kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2) Sebelum dan
selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan
wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya
pemogokan dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang
berselisih.
(3) Dalam hal
perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan
kesepakatan,
maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan
pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam hal
perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan,
maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan
segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok
kerja kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
(5) Dalam hal
perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4),
maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat
buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat
diteruskan atau
dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
Pasal 142
(1) Mogok kerja
yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139 dan
Pa-sal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum
dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
akan diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 143
(1) Siapapun
tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh untuk
mengguna kan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan
damai.
(2) Siapapun
dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh
dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok
kerja secara
sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 144
Terhadap mogok
kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140,
pengusaha dilarang :
a. mengganti
pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar
perusahaan; atau
b. memberikan
sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh
dan pengurus
serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok
kerja.
Pasal 145
Dalam hal
pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan
tuntutan hak
normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh
berhak
mendapatkan upah.
Paragraf 3
Penutupan
Perusahaan (lock-out)
Pasal 146
(1) Penutupan
perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh
sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat
gagalnya
perundingan.
(2) Pengusaha tidak
dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai
tindakan balasan
sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau
serikat
pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan
penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum yang
berlaku.
Pasal 147
Penutupan
perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang
melayani
kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan
jiwa manusia,
meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali
telekomunikasi,
pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta
kereta api.
Pasal 148
(1) Pengusaha
wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau
serikat
pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan
setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan
perusahaan (lock
out) dilaksanakan.
(2)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari,
tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock
out); dan
b. alasan dan
sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha
dan/atau
pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 149
(1)
Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung
jawab
di bidang
ketenaga-kerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan
penutupan
perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus
memberikan tanda
bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam
penerimaan.
(2) Sebelum dan
selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang
bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang
menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan
mempertemukan
dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal
perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan
kesepakatan,
maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan
pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam hal
perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan,
maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan
segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
penutupan
perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
(5) Apabila
perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), maka
atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh, penutupan
perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk
sementara atau
dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak
diperlukan
apabila :
a. pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif
yang ditentukan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII
PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan
mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi
pemutusan
hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak,
milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik
negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Pasal 151
(1) Pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya
harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal
segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari, maka
maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan
serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh
yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal
perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkan
persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan
hubungan industrial.
Pasal 152
(1) Permohonan
penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada
lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi
dasarnya.
(2) Permohonan
penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh
lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan
atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh
lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk
memutuskan
hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
(1) Pengusaha
dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a. pekerja/buruh
berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu
tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh
berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku;
c. pekerja/buruh
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh
menikah;
e. pekerja/buruh
perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya;
f. pekerja/buruh
mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian
kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh
mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat
buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh di luar
jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau
berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian
kerja bersama;
h. pekerja/buruh
yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena
perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi
fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh
dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan
kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya
belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh
yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :
a. pekerja/buruh
masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan
secara tertulis
sebelumnya;
b. pekerja/buruh
mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa
ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja
sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh
mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
atau
d. pekerja/buruh
meninggal dunia.
Pasal 155
(1) Pemutusan
hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151
ayat (3) batal
demi hukum.
(2) Selama
putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baik
pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
(3) Pengusaha
dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang
dalam proses
pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta
hak-hak lainnya
yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 156
(1) Dalam hal
terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan
atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya
diterima.
(2) Perhitungan
uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
sebagai berikut
:
a. masa kerja
kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1
(satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan
upah;
c. masa kerja 2
(dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
d. masa kerja 3
(tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
e. masa kerja 4
(empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima)
bulan upah;
f. masa kerja 5
(lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)
bulan upah;
g. masa kerja 6
(enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah.
h. masa kerja 7
(tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan
upah;
i. masa kerja 8
(delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan
uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan
sebagai berikut :
a. masa kerja 3
(tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
b. masa kerja 6
(enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
c. masa kerja 9
(sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4
(empat) bulan
upah;
d. masa kerja 12
(dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun,
5 (lima) bulan
upah;
e. masa kerja 15
(lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas)
tahun, 6 (enam)
bulan upah;
f. masa kerja 18
(delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh
satu) tahun, 7
(tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21
(dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh
empat) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24
(dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang
penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi :
a. cuti tahunan
yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau
ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh
diterima bekerja;
c. penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima
belas
perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi
yang memenuhi
syarat;
d. hal-hal lain
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja
bersama.
(5) Perubahan
perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja,
dan uang
penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 157
(1) Komponen
upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang
penghargaan masa
kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang
tertunda,
terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam
bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh
dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang
diberikan kepada
pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus
dibayar
pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara
harga pembelian
dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal
penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka
penghasilan
sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal
upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan
atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan
pendapatan
rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan
tidak boleh
kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal
pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada
upah borongan,
maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua
belas) bulan
terakhir.
Pasal 158
(1) Pengusaha
dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh
telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan
penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik
perusahaan;
b. memberikan
keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
c. mabuk,
meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan
perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang,
menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
pengusaha di
lingkungan kerja;
f. membujuk
teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan
ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya
barang milik
perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan
ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam
keadaan bahaya
di tempat kerja;
i. membongkar
atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan
kecuali untuk
kepentingan negara; atau
j. melakukan
perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima)
tahun atau lebih.
(2) Kesalahan
berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti
sebagai berikut:
a. pekerja/buruh
tertangkap tangan;
b. ada pengakuan
dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain
berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang
bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi.
(3)
Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili
kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak
sesuai dengan
ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
Pasal 159
Apabila
pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 158
ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke
lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 160
(1) Dalam hal
pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak pidana
bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib
membayar upah
tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang
menjadi
tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1
(satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua)
orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3
(tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4
(empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari
upah.
(2) Bantuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam)
bulan takwin
ter-hitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang
berwajib.
(3) Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang
setelah 6 (enam)
bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena
dalam proses
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Dalam hal
pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka
pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal
pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
berakhir dan
pekerja/ buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan
pemutusan
hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5)
dilakukan tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha
wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja
sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang
penghargaan masa
kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak
sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1) Dalam hal
pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat
melakukan
pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan
diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturutturut.
(2) Surat
peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk
paling lama 6
(enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
(3)
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Pasal 162
(1)
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang
penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi
pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan
fungsinya tidak
me-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima
uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang
besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja
bersama.
(3) Pekerja/buruh
yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi syarat
:
a. mengajukan
permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30
(tiga puluh)
hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat
dalam ikatan dinas; dan
c. tetap
melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan
hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa
pene-tapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1) Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam
hal terjadi
peru-bahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan dan
pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka
pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (2),
uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
(2) Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perubahan
status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak
bersedia
menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja 1
(satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan
dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
(1) Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup
yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2
(dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan
ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat
(2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan
laporan keuangan
2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup
bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau
bukan karena
keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi,
dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali
ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Pasal 165
Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena
perusahaan
pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1
(satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
Pasal 166
Dalam hal
hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli
warisnya
diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2
(dua) kali uang
pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang
penghargaan masa
kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
(1) Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
memasuki usia
pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada
program pensiun
yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh
tidak berhak
mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa
kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas
uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal
besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam
program pensiun
se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada
jumlah uang
pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan
masa kerja 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal
156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal
pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun
yang
iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang
diperhitungkan
dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya
dibayar oleh
pengusaha.
(4) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur
lain dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal
pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan
hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka
pengusaha wajib
memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat
(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas
manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat
(4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang
bersifat wajib
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 168
(1)
Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut
tanpa
keterangan
secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil
oleh pengusaha 2
(dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya
karena
dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan
tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus diserahkan
paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang
bersangkutan
berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4) dan
diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 169
(1)
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
melakukan
perbuatan sebagai berikut :
a. menganiaya,
menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk
dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak
membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut
atau lebih;
d. tidak
melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan
pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan;
atau
f. memberikan
pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan
pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian
kerja.
(2) Pemutusan
hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pekerja/buruh
berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal
pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka
pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga
penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak berhak
atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang
penghargaan masa
kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).
Pasal 170
Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3)
dan Pasal 168,
kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169
batal demi hukum
dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan
serta membayar
seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171
Pekerja/buruh
yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga
penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 158
ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang
bersangkutan
tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka
pekerja/buruh
dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam
waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan
hubungan
kerjanya.
Pasal 172
Pekerja/buruh
yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan
kerja dan tidak
dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas)
bulan dapat
mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua)
kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat
(3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).
BAB XIII
PEMBINAAN
Pasal 173
(1) Pemerintah
melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang
berhubungan
dengan ketena-gakerjaan.
(2) Pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikut-sertakan organisasi
pengusaha,
seri-kat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.
(3) Pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara
terpadu dan
terkoordinasi.
Pasal 174
Dalam rangka
pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi peng-usaha, serikat
pekerja/serikat
buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama
internasional di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 175
(1) Pemerintah
dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah
berjasa dalam
pem-binaan ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk
piagam, uang,
dan/atau bentuk lainnya.
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan
ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenaga-kerjaan yang
mempunyai
kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan
ketenagakerjaan.
Pasal 177
Pegawai pengawas
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan
oleh Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1) Pengawasan
ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi
yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
pemerintah
pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan
pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 179
(1) Unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada
pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan
pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 180
Ketentuan
mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang
pegawai pengawas
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 181
Pegawai pengawas
ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai-mana
dimaksud dalam
Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan
segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak
menyalahgunakan kewenangannya.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
(1) Selain
penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan
dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai
negeri sipil
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak
pidana di bidang
ketenaga-kerjaan;
b. melakukan
pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang
ketenagakerjaan;
c. meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan
pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara
tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan
pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang
ketenagakerjaan;
f. meminta
bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang
ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan
penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan
tentang adanya
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan
penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
DAN
SANKSI
ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183
(1) Barang siapa
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan
sanksi pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 184
(1) Barang siapa
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5),
dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 185
(1) Barang siapa
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal
68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143,
dan Pasal 160
ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat
ratus juta
rupiah).
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 186
(1) Barang siapa
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal
93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana
penjara paling
singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang siapa
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pasal 44 ayat
(1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal
78 ayat (2),
Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan
sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang siapa
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Pasal 38 ayat
(2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111
ayat (3), Pasal
114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp
5.000.000,00
(lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 189
Sanksi pidana
penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban
pengusaha
membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau
pekerja/buruh.
Bagian Kedua
Sanksi
Administratif
Pasal 190
(1) Menteri atau
pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran
ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25,
Pasal 38 ayat
(2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106,
Pasal 126 ayat
(3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta
peraturan
pelaksanaannya.
(2) Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan
tertulis;
c. pembatasan
kegiatan usaha;
d. pembekuan
kegiatan usaha;
e. pembatalan
persetujuan;
f. pembatalan
pendaftaran;
g. penghentian
sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan
ijin.
(3) Ketentuan
mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur
lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XVII
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 191
Semua peraturan
pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang
tidak
bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Undang undang
ini.
BAB XVIII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 192
Pada saat mulai
berlakunya Undang undang ini, maka :
1. Ordonansi
tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar
Indonesia
(Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi
tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan
Kerja Malam Bagi
Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi
Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak anak Dan Orang Muda Di
Atas Kapal
(Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi
tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan kegiatan
Mencari Calon
Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. 5. Ordonansi
tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia
(Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi
Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak anak (Staatsblad
Tahun 1949 Nomor
8);
7. Undang undang
Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang
Kerja Tahun 1948
Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia
(Lembaran Negara
Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang undang
Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat
Buruh Dan
Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Nomor
598a);
9. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun
1958 Nomor 8 );
10.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor
207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang
undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau
Penutupan (Lock
Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran
Negara Tahun
1963 Nomor 67);
12. Undang
undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912);
13.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor
73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undangundang
Nomor 25 Tahun
1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun
1998 Nomor 184,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undangundang
Nomor 11 Tahun
1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor
25 Tahun 1997
tentang Ketenaga-kerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara
Tahun 2000 Nomor
240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042),
dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 193
Undang undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini
dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada tanggal 25
Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 25
Maret 2003
SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39
P E N J E L A S
A N
A T A S
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN
2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
I. UMUM
Pembangunan
ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945,
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat,
dan harga diri
tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan
merata, baik
materiil maupun spiritual.
Pembangunan
ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hakhak
dan perlindungan
yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada
saat yang
bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan
dunia usaha.
Pembangunan ketenagakerjaan
mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan.
Keterkaitan itu
tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan
sesudah masa
kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha,
pemerintah, dan
masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh
dan
komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya manusia,
peningkatan
produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan
kesempatan
kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan
industrial.
Pembinaan
hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan
harus diarahkan
untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan
berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi
manusia
sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998
harus
diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, Ketetapan MPR ini merupakan
tonggak utama
dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakkan demokrasi
di tempat kerja
diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh
tenaga kerja dan
pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang
dicita-citakan.
Beberapa
peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku
selama ini,
termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan
pekerja pada
posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga
kerja dan sistem
hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan
kepentingan
sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini
dan tuntutan
masa yang akan datang.
Peraturan
perundang-undangan tersebut adalah :
· Ordonansi tentang Pengerahan Orang
Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di
Luar Indonesia
(Staatsblad tahun 1887 No. 8);
· Ordonansi tanggal 17 Desember 1925
Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak
Dan Kerja Malam
bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
· Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai
Kerja Anak-anak dan Orang Muda Di
Atas Kapal
(Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
· Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang
Ordonansi untuk Mengatur Kegiatankegiatan
Mencari Calon
Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
· Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang
Diterima atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia
(Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
· Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang
Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad
Tahun 1949 Nomor
8);
· Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undangundang
Kerja tahun 1948
Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
· Undang-undang Nomor 21 tahun 1954
tentang Perjanjian Perburuhan antara
Serikat Buruh
dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara
Nomor 598 a);
· Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang
Penempatan Tenaga Asing
(Lembaran Negara
Tahun 1958 Nomor 8);
· Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang
Wajib Kerja Sarjana (Lembaran
Negara Tahun
1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2270);
· Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963
tentang Pencegahan Pemogokan
dan/atau
Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital
(Lembaran Negara
Tahun 1963 Nomor 67);
· Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
mengenai Tenaga
Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara
Nomor 2912);
· Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun
1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
· Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998
tentang Perubahan Berlakunya Undangundang
Nomor 25 Tahun
1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun
1998 Nomor 184,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan
· Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undangundang
Nomor 11 Tahun
1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang
Nomor 25 Tahun
1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara
Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4042).
Peraturan
perundang-undangan tersebut di atas dipandang perlu untuk dicabut dan
diganti dengan
Undang-undang yang baru. Ketentuan-ketentuan yang masih relevan
dari peraturan
perundang-undangan yang lama ditampung dalam Undang-undang ini.
Peraturan
pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut masih tetap berlaku
sebelum
ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti.
Undang-undang
ini disamping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai lagi
dengan tuntutan
dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung
perubahan yang
sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan
dimulainya era
reformasi tahun 1998.
Di bidang
ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi manusia di
tempat kerja
dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International Labour
Organization
(ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu :
· Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor
87 dan Nomor 98);
· Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan
Nomor 111);
· Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan
Nomor 105); dan
· Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor
138 dan Nomor 182 ).
Komitmen bangsa
Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di tempat
kerja antara
lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar tersebut.
Sejalan dengan
ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka Undang-undang
ketenagakerjaan
yang disusun ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan
pada ketujuh
prinsip dasar tersebut.
Undang-undang
ini antara lain memuat :
· Landasan, asas, dan tujuan pembangunan
ketenagakerjaan;
· Perencanaan tenaga kerja dan informasi
ketenagakerjaan;
· Pemberian kesempatan dan perlakuan yang
sama bagi tenaga kerja dan pekerja/
buruh;
· Pelatihan kerja yang diarahkan untuk
meningkatkan dan mengembangkan
keterampilan
serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja
dan
produktivitas perusahaan.
· Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam
rangka pendayagunaan tenaga kerja
secara optimal
dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan
harkat dan
martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat dalam
upaya perluasan kesempatan kerja;
· Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat
sesuai dengan kompetensi yang
diperlukan;
· Pembinaan hubungan industrial yang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila diarahkan
untuk
menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan
antar para
pelaku proses produksi;
· Pembinaan kelembagaan dan sarana
hubungan industrial, termasuk perjanjian
kerja bersama,
lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja sama tripartit,
pemasyarakatan
hubungan industrial dan penyelesaian perselisih-an hubungan
industrial;
· Perlindungan pekerja/buruh, termasuk
perlindungan atas hak-hak dasar
pekerja/buruh
untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan
kesehatan kerja,
perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan
penyandang
cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan
sosial tenaga
kerja;
· Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud
agar dalam peraturan perundangundangan
di bidang
ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksana-kan sebagaimana
mestinya.
II. PASAL DEMI
PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangun-an manusia
Indonesia
seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenaga-kerjaan dilaksanakan
untuk mewujudkan
manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur,
dan merata baik
materiil maupun spiritual.
Pasal 3
Asas pembangunan
ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan
nasional,
khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata.
Pembangunan
ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan
berbagai pihak
yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu,
pembangunan
ketenaga-kerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama
yang saling
mendukung.
Pasal 4
Huruf a
Pemberdayaan dan
pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang
terpadu untuk
dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja
Indonesia.
Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja
Indonesia dapat
berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun
dengan tetap
menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
Huruf b
Pemerataan
kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik
Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan
yang sama untuk
memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai
dengan bakat,
minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan
tenaga kerja
perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan
daerah.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 5
Setiap tenaga
kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan dan
penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras,
agama, dan
aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang
bersangkutan,
termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.
Pasal 6
Pengusaha harus
memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan
jenis kelamin,
suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
Pasal 7
Ayat (1)
Perencanaan
tenaga kerja yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dilakukan
melalui
pendekatan perencanaan tenaga kerja nasional, daerah, dan sektoral.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud
dengan perencanaan tenaga kerja makro adalah proses penyusunan
rencana
ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat pendayagunaan tenaga
kerja secara
optimal, dan produktif guna mendukung pertum-buhan ekonomi atau
sosial, baik
secara nasional, daerah, maupun sektoral sehingga dapat membuka
kesempatan kerja
seluas-luasnya, meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan
kesejahteraan
pekerja/buruh.
Huruf b
Yang dimaksud
dengan perencanaan tenaga kerja mikro adalah proses penyusunan
rencana
ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu instansi, baik instansi
pemerintah
maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja
secara optimal
dan produktif untuk mendukung pencapaian kinerja yang tinggi pada
instansi atau
perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Informasi
ketenagakerjaan dikumpulkan dan diolah sesuai dengan maksud disusunnya
perencanaan
tenaga kerja nasional, perencanaan tenaga kerja daerah provinsi atau
kabupaten/kota.
Ayat (2)
Dalam rangka
pembangunan ketenagakerjaan, partisipasi swasta diharapkan dapat
memberikan
informasi mengenai ketenagakerjaan. Pengertian swasta mencakup
perusahaan,
perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat di pusat, provinsi
atau kabupaten/
kota.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Yang dimaksud
dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal ini adalah kesejahteraan
bagi tenaga
kerja yang diperoleh karena terpenuhinya kompetensi kerja melalui pelatihan
kerja.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan
standar kompetensi kerja dilakukan oleh Menteri dengan mengikutsertakan
sektor terkait.
Ayat (3)
Jenjang
pelatihan kerja pada umumnya terdiri atas tingkat dasar, terampil, dan ahli.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Pengguna tenaga
kerja terampil adalah pengusaha, oleh karena itu pengusaha
bertanggung
jawab mengadakan pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi
pekerjanya.
Ayat (2)
Peningkatan
dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan bagi pengusaha karena
perusahaan yang
akan memperoleh manfaat hasil kompetensi pekerja/buruh.
Ayat (3)
Pelaksanaan
pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta kesempatan yang ada
di perusahaan
agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan perusahaan.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan pelatihan kerja swasta juga termasuk pelatihan kerja
perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pendaftaran
kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah
dimaksudkan
untuk mendapatkan informasi sehingga hasil pelatihan, sarana dan
prasarana
pelatihan dapat berdayaguna dan berhasilguna secara optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sertifikasi
kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan
secara
sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar
kompetensi
nasional dan/atau internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Sistem pelatihan
kerja nasional adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai unsur
pelatihan kerja
yang antara lain meliputi peserta, biaya, sarana, dan prasarana, tenaga
kepelatihan,
program dan metode, serta lulusan. Dengan adanya sistem pelatihan kerja
nasional, semua
unsur dan sumber daya pelatihan kerja nasional yang tersebar di
instansi
pemerintah, swasta, dan perusahaan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hak peserta
pemagangan antara lain memperoleh uang saku dan/atau uang transpor,
memperoleh
jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh sertifikat apabila lulus di
akhir program.
Hak pengusaha antara
lain berhak atas hasil kerja/jasa peserta pemagangan, merekrut
pemagang sebagai
pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan.
Kewajiban
peserta pemagangan antara lain menaati perjanjian pemagangan, mengikuti
tata tertib
program pemagangan, dan mengikuti tata tertib perusahaan.
Adapun kewajiban
pengusaha antara lain menyediakan uang saku dan/atau uang
transpor bagi
peserta pemagangan, menyediakan fasilitas pelatihan, menyediakan
instruktur, dan
perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja.
Jangka waktu pemagangan
bervariasi sesuai dengan jangka waktu yang diperlukan untuk
mencapai standar
kompetensi yang ditetapkan dalam program pelatihan pemagangan.
Ayat (3)
Dengan status
sebagai pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, maka berhak
atas segala hal
yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 23
Sertifikasi
dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang dibentuk dan/atau diakreditasi
oleh pemerintah
bila programnya bersifat umum, atau dilakukan oleh perusahaan yang
bersangkutan
bila programnya bersifat khusus.
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan kepentingan perusahaan dalam ayat ini adalah agar terjamin
tersedianya
tenaga terampil dan ahli pada tingkat kompetensi tertentu seperti juru las
spesialis dalam
air.
Yang dimaksud
dengan kepentingan masyarakat misalnya untuk membuka
kesempatan bagi
masyarakat memanfaatkan industri yang bersifat spesifik seperti
teknologi
budidaya tanaman dengan kultur jaringan.
Yang dimaksud
dengan kepentingan negara misalnya untuk menghemat devisa negara,
maka perusahaan
diharuskan melaksanakan program pemagangan seperti keahlian
membuat
alat-alat pertanian modern.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan terbuka adalah pemberian informasi kepada pencari kerja
secara jelas
antara lain jenis pekerjaan, besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini
diperlukan untuk
melindungi pekerja/buruh serta untuk menghindari terjadinya
perselisihan
setelah tenaga kerja ditempatkan.
Yang dimaksud
dengan bebas adalah pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaan dan
pemberi kerja
bebas memilih tenaga kerja, sehingga tidak dibenarkan pencari kerja
dipaksa untuk
menerima suatu pekerjaan dan pemberi kerja tidak dibenarkan dipaksa
untuk menerima
tenaga kerja yang ditawarkan.
Yang dimaksud
dengan obyektif adalah pemberi kerja agar menawarkan pekerjaan
yang cocok
kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuannya dan persyaratan
jabatan yang
dibutuhkan, serta harus memperhatikan kepentingan umum dengan tidak
memihak kepada
kepentingan pihak tertentu.
Yang dimaksud
dengan adil dan setara adalah penempatan tenaga kerja dilakukan
berdasarkan
kemampuan tenaga kerja dan tidak didasarkan atas ras, jenis kelamin,
warna kulit,
agama, dan aliran politik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pemerataan
kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia
sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional dengan memberikan kesempatan
yang sama untuk
memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja sesuai dengan
bakat, minat,
dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan kesempatan kerja perlu
diupayakan agar
dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja di seluruh sektor dan daerah.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Sebelum
undang-undang mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri
diundangkan maka
segala peraturan perundangan yang mengatur penempatan tenaga
kerja di luar
negeri tetap berlaku.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud
pemberi kerja adalah pemberi kerja di dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Penetapan
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
tingkat pusat
dan daerah ditentukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Karena upaya
perluasan kesempatan kerja mencakup lintas sektoral, maka harus
disusun kebijakan
nasional di semua sektor yang dapat menyerap tenaga kerja secara
optimal. Agar
kebijakan nasional tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka
pemerintah dan
masyarakat bersama-sama mengawasinya secara terkoordinasi.
Pasal 42
Ayat (1)
Perlunya pemberian
izin penggunaan tenaga kerja warga negara asing dimaksudkan
agar penggunaan
tenaga kerja warga negara asing dilaksanakan secara selektif dalam
rangka
pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Rencana
penggunaan tenaga kerja warga negara asing merupakan persyaratan untuk
mendapatkan izin
kerja (IKTA).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud
dengan badan internasional dalam ayat ini adalah badan-badan
internasional
yang tidak mencari keuntungan seperti lembaga yang bernaung di bawah
Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) antara lain ILO, WHO, atau UNICEF.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan standar kompetensi adalah kualifikasi yang harus dimiliki oleh
tenaga kerja
warga negara asing antara lain pengetahuan, keahlian, keterampilan di
bidang tertentu,
dan pemahaman budaya Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Huruf a
Tenaga kerja pendamping
tenaga kerja asing tidak secara otomatis menggantikan atau
menduduki
jabatan tenaga kerja asing yang didampinginya. Pendampingan tersebut
lebih
dititikberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja
pendamping
tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya diharapkan
dapat mengganti
tenaga kerja asing yang didampinginya.
Huruf b
Pendidikan dan
pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut dapat dilaksanakan baik di
dalam negeri
maupun dengan mengirimkan tenaga kerja Indonesia untuk berlatih di
luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Kewajiban
membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya
peningkatan
kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Pada prinsipnya
perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi
masyarakat yang
beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara
lisan.
Ayat (2)
Perjanjian kerja
yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku, antara lain perjanjian kerja waktu tertentu,
antarkerja
antardaerah, antarkerja antarnegara, dan perjanjian kerja laut.
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud
dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu
atau cakap
menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak, yang
menandatangani
perjanjian adalah orang tua atau walinya.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan tidak boleh bertentangan dalam ayat ini adalah apabila di
perusahaan telah
ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka isi
perjanjian kerja
baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan
perusahaan atau
perjanjian kerja bersama di perusahaan yang
bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Perjanjian kerja
dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab
dibidang
ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan
yang sifatnya
terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan
bagian dari
suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan
musiman.
Pekerjaan yang
bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau
suatu kondisi
tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus
menerus, tidak
terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu
proses produksi,
tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya
suatu kondisi
tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang
tidak termasuk
pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek perjanjian kerja waktu
tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Syarat masa
percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila
perjanjian kerja
dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan kerja harus
diberitahukan
kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat
pengangkatan.
Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat
pengangkatan,
maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak
ada.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Keadaan atau
kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan
keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud
hak-hak yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau
hak-hak yang
telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja
bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan
menguntungkan
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Pada pekerjaan
yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang
berhubungan
langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan
mempekerjakan pekerja/buruh
dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau
perjanjian kerja
waktu tidak tertentu.
Yang dimaksud
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan
proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha
pokok (core
business) suatu perusahaan.
Kegiatan
tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service),
usaha
penyediaan
makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman
(security/satuan
pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan
perminyakan,
serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Perlindungan
upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian
perselisihan
antara penyedia jasa tenaga kerja dengan pekerja/buruh harus sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pekerja/buruh
yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memperoleh
hak (yang sama)
sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama
atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan
yang timbul dengan pekerja/ buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa
pekerja/buruh.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya penyediaan
aksesibilitas,
pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan
jenis dan
derajat kecacatannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Ketentuan dalam
ayat ini dimaksudkan untuk melindungi anak agar pengembangan
bakat dan minat
anak yang pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Ayat (1)
Penanggulangan
anak yang bekerja di luar hubungan kerja dimaksudkan untuk
menghapuskan
atau mengurangi anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya
tersebut harus
dilakukan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan instansi
terkait.
Anak yang
bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak penyemir sepatu atau anak
penjual koran.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Yang bertanggung
jawab atas pelanggaran ayat ini adalah pengusaha. Apabila
pekerja/buruh
perempuan yang dimaksud dalam ayat ini dipekerjakan antara pukul
23.00 sampai
dengan pukul 07.00 maka yang bertanggung jawab atas pelanggaran
tersebut adalah
pengusaha.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud
sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini misalnya
pekerjaan di
pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan
jarak jauh, pekerjaan
di kapal (laut), atau penebangan hutan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 78
Ayat (1)
Mempekerjakan
lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena
pekerja/buruh
harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan
kebugarannya.
Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak
yang harus
diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga pekerja/buruh harus
bekerja melebihi
waktu kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Selama
menjalankan istirahat panjang, pekerja/buruh diberi uang kompensasi hak
istirahat
tahunan tahun kedelapan sebesar ½ (setengah) bulan gaji dan bagi perusahaan
yang telah
memberlakukan istirahat panjang yang lebih baik dari ketentuan undangundang
ini, maka tidak
boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 80
Yang dimaksud
kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk
melaksanakan
ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan
ibadahnya secara
baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Ayat (1)
Lamanya
istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan
atau bidan, baik
sebelum maupun setelah melahirkan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 83
Yang dimaksud
dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini adalah lamanya waktu
yang diberikan
kepada pekerja/buruh perempuan untuk menyusui bayinya dengan
memperhatikan
tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan
perusahaan, yang
diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan dalam
ayat ini dimaksudkan untuk melayani kepentingan dan kesejahteraan
umum. Di samping
itu untuk pekerjaan yang karena sifat dan jenis pekerjaannya
tidak
memungkinkan pekerjaan itu dihentikan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Upaya
keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan
keselamatan dan
meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara
pencegahan
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat
kerja, promosi
kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah
bagian dari
sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur
organisasi,
perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber
daya yang
dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan
pemeliharaan
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian
risiko yang
berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman,
efisien, dan
produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah
jumlah
penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannya sehingga
mampu memenuhi
kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang
meliputi makanan
dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan,
rekreasi, dan
jaminan hari tua.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Upah minimum
sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha beserta
pembagiannya
menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia untuk kabupaten/kota,
provinsi, beberapa
provinsi atau nasional dan tidak boleh lebih rendah dari upah
minimum regional
daerah yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak dalam
ayat ini ialah
setiap penetapan upah minimum harus disesuaikan dengan tahapan
pencapaian
perbandingan upah minimum dengan kebutuhan hidup layak yang
besarannya
ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pencapaian
kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara bertahap karena kebutuhan
hidup layak tersebut
merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup minimum yang
sangat
ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penangguhan
pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu
dimaksudkan
untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah
minimum yang
berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut
berakhir maka
perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum
yang berlaku
pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah
minimum yang
berlaku pada waktu diberikan penangguhan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat (1)
Penyusunan
struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah
sehingga
terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta untuk mengurangi
kesenjangan
antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Peninjauan upah
dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja,
perkembangan,
dan kemampuan perusahaan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 93
Ayat (1)
Ketentuan ini
merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua
pekerja/buruh,
kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat
melakukan
pekerjaan bukan karena kesalahannya.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud
pekerja/buruh sakit ialah sakit menurut keterangan
dokter.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud
dengan menjalankan kewajiban terhadap negara adalah melaksanakan
kewajiban negara
yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Pembayaran upah
kepada pekerja/buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara
dilaksanakan
apabila :
a. negara tidak
melakukan pembayaran; atau
b. negara
membayar kurang dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh, dalam hal
ini maka
pengusaha wajib membayar kekurangannya.
Huruf e
Yang dimaksud
dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah
melaksanakan
kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah diatur dengan
peraturan
perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 94
Yang dimaksud
dengan tunjangan tetap dalam pasal ini adalah pembayaran
kepada
pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan
kehadiran
pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud
didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar
lebih dahulu
dari pada utang lainnya.
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan keluarga
berencana,
tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah,
fasilitas olah
raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan, dan fasilitas rekreasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan usaha-usaha produktif di perusahaan adalah kegiatan yang
bersifat
ekonomis yang menghasilkan pendapatan di luar upah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (1)
Kebebasan untuk
membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat
pekerja/serikat
buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Ayat (1)
Pada perusahaan
dengan jumlah pekerja/buruh kurang dari 50 (lima puluh) orang,
komunikasi dan
konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan
efektif. Pada
perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh 50 (lima puluh) orang atau
lebih,
komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
Pasal 110
Cukup jelas
Pasal 111
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud
dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh
yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih
rendah kualitas
atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dan apabila
ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 112
Cukup jelas
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Pemberitahuan
dilakukan dengan cara membagikan salinan peraturan perusahaan
kepada setiap
pekerja/buruh, menempelkan di tempat yang mudah dibaca oleh para
pekerja/buruh,
atau memberikan penjelasan langsung kepada pekerja/buruh.
Pasal 115
Cukup jelas
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pembuatan
perjanjian kerja bersama harus dilandasi dengan itikad baik, yang berarti
harus ada
kejujuran dan keterbukaan para pihak serta kesukarelaan/kesadaran yang
artinya tanpa
ada tekanan dari satu pihak terhadap pihak lain.
Ayat (3)
Dalam hal
perjanjian kerja bersama dibuat dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan
dalam bahasa
lain, apabila terjadi perbedaan penafsiran, maka yang berlaku perjanjian
kerja bersama
yang menggunakan bahasa Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 117
Penyelesaian
melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat
dilakukan
melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 118
Cukup jelas
Pasal 119
Cukup jelas
Pasal 120
Cukup jelas
Pasal 121
Cukup jelas
Pasal 122
Cukup jelas
Pasal 123
Cukup jelas
Pasal 124
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku adalah
kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih
rendah dari
peraturan perundangan-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 125
Cukup jelas
Pasal 126
Cukup jelas
Pasal 127
Cukup jelas
Pasal 128
Cukup jelas
Pasal 129
Cukup jelas
Pasal 130
Cukup jelas
Pasal 131
Cukup jelas
Pasal 132
Cukup jelas
Pasal 133
Cukup jelas
Pasal 134
Cukup jelas
Pasal 135
Cukup jelas
Pasal 136
Cukup jelas
Pasal 137
Yang dimaksud
dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak
tercapainya
kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat
disebabkan
karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan
mengalami jalan
buntu.
Yang dimaksud
dengan tertib dan damai adalah tidak mengganggu keamanan dan
ketertiban umum,
dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik
perusahaan atau
pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat.
Pasal 138
Cukup jelas
Pasal 139
· Yang dimaksud dengan perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau
perusahaan yang
jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia
adalah rumah
sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta
api, pengontrol
pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu
lintas laut.
· Yang dimaksud dengan pemogokan yang
diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan
yang dilakukan
oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas.
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Tempat mogok
kerja adalah tempat-tempat yang ditentukan oleh penanggung jawab
pemogokan yang
tidak menghalangi pekerja/buruh lain untuk bekerja.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 141
Cukup jelas
Pasal 142
Cukup jelas
Pasal 143
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan menghalang-halangi dalam ayat ini antara lain dengan cara :
a. menjatuhkan
hukuman;
b.
mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau
c. melakukan
mutasi yang merugikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 144
Cukup jelas
Pasal 145
Yang dimaksud
dengan sungguh-sungguh melanggar hak normatif adalah pengusaha
secara nyata
tidak bersedia memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dan/atau
ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
atau peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan, meskipun sudah ditetapkan dan
diperintahkan
oleh pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pembayaran upah
pekerja/buruh yang mogok dalam pasal ini tidak menghilangkan
ketentuan
pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran
ketentuan
normatif.
Pasal 146
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal
penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah atau
sebagai tindakan
balasan terhadap mogok yang sah atas tuntutan normatif, maka
pengusaha wajib
membayar upah pekerja/buruh.
Pasal 147
Cukup jelas
Pasal 148
Cukup jelas
Pasal 149
Cukup jelas
Pasal 150
Cukup jelas
Pasal 151
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan segala upaya dalam ayat ini adalah kegiatan-kegiatan yang
positif yang
pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja
antara lain
pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan
memberikan
pembinaan kepada pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 152
Cukup jelas
Pasal 153
Cukup jelas
Pasal 154
Cukup jelas
Pasal 155
Cukup jelas
Pasal 156
Cukup jelas
Pasal 157
Cukup jelas
Pasal 158
Cukup jelas
Pasal 159
Cukup jelas
Pasal 160
Ayat (1)
Keluarga
pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah isteri/suami, anak atau orang
yang sah menjadi
tanggungan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 161
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Masing-masing
surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai
dengan ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja
bersama.
Dalam hal surat
peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat peringatan
pertama berlaku
untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila pekerja/buruh melakukan
kembali
pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja
bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan maka
pengusaha dapat
menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga mempunyai jangka
waktu berlaku
selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua.
Apabila
pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja
atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat
menerbitkan
peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak
diterbitkannya
peringatan ketiga.
Apabila dalam
kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan
pelanggaran
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
maka pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.
Dalam hal jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan pertama
sudah
terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan kembali
pelanggaran
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
maka surat
peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai
peringatan
pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga.
Perjanjian kerja
atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat
memuat
pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir.
Apabila
pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau
perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya
peringatan
pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja.
Tenggang waktu 6
(enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik pekerja/buruh
agar dapat
memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu 6 (enam) bulan ini
merupakan waktu
yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian terhadap
kinerja
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 162
Cukup jelas
Pasal 163
Cukup jelas
Pasal 164
Cukup jelas
Pasal 165
Cukup jelas
Pasal 166
Cukup jelas
Pasal 167
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Contoh dari ayat
ini adalah :
§
Misalnya
uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah Rp
10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan pensiun menurut
program pensiun
adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) serta dalam
pengaturan
program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang ditanggung oleh
pengusaha 60%
(enam puluh perseratus) dan oleh pekerja/buruh 40% (empat puluh
perseratus),
maka :
§
Perhitungan
hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha adalah :
sebesar 60% x Rp
6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00
§
Besarnya
santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/ buruh adalah sebesar
40% X Rp
6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00
§
Jadi
kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp
10.000.000,00
dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00
§
Sehingga
uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena pensiun
tersebut adalah
:
¦
Rp
3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang
preminya 60%
dibayar oleh pengusaha)
¦
Rp
6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di bayar oleh
pengusaha)
¦
Rp
2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang
preminya 40%
dibayar oleh pekerja/buruh)
_______________________________________________________________
_ +
Jumlah
Rp12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah)
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 168
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah pekerja/buruh
telah dipanggil
secara tertulis yang ditujukan pada alamat pekerja/buruh sebagaimana
tercatat di
perusahaan berdasar-kan laporan pekerja/buruh. Tenggang waktu antara
pemanggilan
pertama dan kedua paling sedikit 3 (tiga) hari kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 169
Cukup jelas
Pasal 170
Cukup jelas
Pasal 171
Tenggang waktu 1
tahun dianggap merupakan waktu yang cukup layak untuk
mengajukan
gugatan.
Pasal 172
Cukup jelas
Pasal 173
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan pembinaan dalam ayat ini adalah kegiatan yang dilakukan
secara berdaya
guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik untuk
meningkatkan dan
mengembangkan semua kegiatan yang berhubungan dengan
ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang melakukan koordinasi
dalam ayat ini adalah instansi yang bertanggung jawab di
bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 174
Cukup jelas
Pasal 175
Cukup jelas
Pasal 176
Yang dimaksudkan
dengan independen dalam pasal ini adalah pegawai pengawas
dalam mengambil
keputusan tidak terpengaruh oleh pihak lain.
Pasal 177
Cukup jelas
Pasal 178
Cukup jelas
Pasal 179
Cukup jelas
Pasal 180
Cukup jelas
Pasal 181
Cukup jelas
Pasal 182
Cukup jelas
Pasal 183
Cukup jelas
Pasal 184
Cukup jelas
Pasal 185
Cukup jelas
Pasal 186
Cukup jelas
Pasal 187
Cukup jelas
Pasal 188
Cukup jelas
Pasal 189
Cukup jelas
Pasal 190
Cukup jelas
Pasal 191
Yang dimaksud
peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan dalam undangundang
ini adalah
peraturan pelaksanaan dari berbagai undang-undang di bidang
ketenagakerjaan
baik yang sudah dicabut maupun yang masih berlaku. Dalam hal
peraturan
pelaksanaan belum dicabut atau diganti berdasarkan undang-undang ini,
agar tidak
terjadi kekosongan hukum, maka dalam Pasal ini tetap diberlakukan
sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang ini.
Demikian pula,
apabila terjadi suatu peristiwa atau kasus ketenagakerjaan sebelum
undang-undang
ini berlaku dan masih dalam proses penyelesaian pada lembaga
penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, maka sesuai dengan asas legalitas,
terhadap
peristiwa atau kasus ketenagakerjaan tersebut diselesaikan berdasarkan
peraturan
pelaksanaan yang ada sebelum ditetapkannya undang-undang ini.
Pasal 192
Cukup jelas
Pasal 193
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4279
Tidak ada komentar:
Posting Komentar